Selain dampak di atas, gerakan open access dapat berdampak juga kepada dunia kesehatan, penanganan penyakit menular dan berbahaya di negara miskin dan negara berkembang. Penyebaran ilmu di bidang ini harus segera dan cepat (fast and rapid dissemination) serta tidak layak untuk dihalangi dinding pembayaran (paywall) \cite{Tennant_2016}. Untuk itu sangat disarankan agar para pengelola jurnal dan akademia secara umum dari negara-negara ini untuk bergabung dan menggabungkan diri ke dalam organisasi yang kuat agar dikenal dan mempunyai posisi tawar secara internasional.

Beberapa catatan dalam pengelolaan jurnal OA

Menghindari mengejar indexing dari lembaga komersial sebagai tujuan utama

Dari sisi pengelola jurnal. Saat ini banyak sekali indexing yang dapat dipilih, alih-alih hanya mengejar indexing arus utama, seperti Scopus ataupun Web of Science.  Para pengelola jurnal kami tekankan agar tidak hanya mengejar salah satu atau keduanya saja. Berikut ini beberapa pertimbangan mengapa kami agak keras tentang hal ini:
  1. Meningkatkan biaya publikasi: Indexing oleh lembaga-lembaga komersial akan menambah komponen biaya yang tidak perlu dalam penerbitan makalah atau jurnal. Contoh: saat ini konferensi atau seminar yang terindeks Scopus meminta biaya konferensi (conference fee) rata-rata tidak kurang dari Rp. 3.000.000,-. Dengan biaya sebesar itu, maka berat bagi kaum mahasiswa (S1, S2, S3) sebagai komponen akademia yang paling membutuhkan dan juga menjadi penulis.
  2. Sering terjadi kesalahan dalam memasang portal paywall: Berkaitan dengan butir ke-1, pada beberapa kasus (dan ini sering terjadi), lembaga pengindeks tersebut memasang portal paywall (portal pembayaran) untuk makalah yang semestinya berstatus OA. Bila kita telah membayar biaya publikasi atau disebut juga article processing cost (APC), maka mestinya dokumen kita akan berstatus OA. Pembaca tidak akan ditarik biaya. 
  3. Menambah waktu publikasi: Kalau anda mengejar indeks ini, maka makalah yang dipublikasikan harus dalam Bahasa Inggris. Tanpa adanya tim translator dan proof reader, kondisi ini akan menambah durasi proses makalah, yakni di tahap review dan penyuntingan. Maka makalah baru akan termuat resmi dalam laman indexing rata-rata enam sampai delapan bulan sejak pengiriman makalah ke jurnal atau panitia seminar (submission)  atau bahkan sejak makalah dipresentasikan dalam seminar.
  4. Syarat yang diajukan adalah syarat umum: sebenarnya syarat yang diajukan oleh kedua lembaga pengindeks tersebut di atas akan sama dengan syarat yang diajukan oleh lembaga lainnya. Tidak ada syarat khusus yang diajukan. Dalam beberapa sisi, justru lembaga akreditasi jurnal di Indonesia memiliki syarat lebih banyak dan ketat.
  5. Kekhawatiran berlebihan bahwa makalah atau jurnal tidak akan muncul dalam mesin pencari (search engine): Kekhawatiran ini sudah tidak relevan, karena apapun yang sifatnya telah daring (online), maka dapat dicari oleh bot mesin pencari.
Sampai saat ini, bahkan Google Scholar dan Microsoft Academic pun masih digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai alat ukur kinerja riset. Bahkan pada akhir-akhir ini, kedua indeks terbuka tersebut telah diakui sebagai ciri jurnal bereputasi (Permenristekdikti No. 20/2017, lampiran, dan juknisnya). Anne-Wil Harzing, pembuat piranti lunak Publish or Perish yang menggunakan basis data Google Scholar, menyatakan bahwa Google Scholar menjadi alternatif (pesaing) serius bagi Web of Science \cite{Impactof84:online}. Artikel tersebut meluruskan berbagai persepsi yang salah tentang Google Scholar. Lebih ekstrim lagi, ada pandangan yang menyatakan bahwa sains adalah miliki komunitas dan masyarakat jadi tidak sepantasnya diatur-atur oleh aturan eksklusif sebuah jurnal dengan alasan untuk menjaga kualitas \cite{Medicalr0:online}.
Science should not, and need not, be shackled by journal publication. Three sensible reforms would ensure that researchers’ results could be communicated to more people more quickly, without any compromise on quality...\cite{Medicalr0:online} 
Salah satu indexing yang sedang mengemuka adalah indexing oleh ScienceOpen (SO), sebuah perusahaan yang berbasis di Jerman. SO indexing mengutamakan untuk bekerjasama dengan penerbit jurnal OA. Mereka menggunakan Altmetric sebagai ukuran reputasi atau dampak dari suatu makalah. Selain itu, kami juga merekomendasikan indexing oleh Pubmed Central (PMC), sebuah indeks yang awalnya dibuat untuk bidang ilmu kedokteran dan kesehatan. 

Inisiatif yang dapat digalang

Dimulainya inisiatif ASEAN Citation Index dapat digunakan sebagai momentum penggalangan kekuatan pengelola jurnal, khususnya jurnal OA, di kawasan ASEAN, yang notabene mayoritasnya adalah negara yang tidak berkomunikasi dalam Bahasa Inggris (non-English speaking countries). 
Beberapa hal strategis yang dapat digalang:
  1. memperbaiki kualitas jurnal Indonesia, baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris.
  2. menguatkan komitmen akademia, tidak hanya untuk secara intensif mempublikasikan karyanya, tapi juga menumbuhkan semangat untuk memberikan komentar peer-review yang obyektif dan tepat waktu agar tidak menghambat proses publikasi.
  3. menumbuhkan semangat menulis kepada para mahasiswa dan sejawat akademia muda, misalnya dengan memberikan pelatihan penulisan artikel ilmiah \citep*{viridi2017}.
  4. menggalang kekuatan di antara pengelola jurnal di negara-negara anggota ASEAN melalui ASEAN Citation Index untuk meningkatkan posisi tawar dengan lembaga-lembaga pengindeks internasional. Aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi internasional pendukung open science. Status repositori terbuka di Indonesia juga masih tertinggal, bahkan belum direkognisi oleh COAR (Confederation of Open Access Repository) dibanding Malaysia misalnya. Mereka memiliki inisiatif "Malaysia Theses Online" \cite{OpenAcce49:online}.
  5. menemukan inovasi-inovasi baru dalam penerbitan jurnal yang mampu menarik minat pembaca dari negara-negara barat untuk membaca makalah dalam Bahasa Indonesia, misal: dengan menerbitkan slide berbahasa Inggris sebagai pendamping makalah dalam Bahasa Indonesia, atau menyisipkan translasi Bahasa Inggris ke dalam bagian-bagian penting naskah dalam Bahasa Indonesia (lihat sub bab selanjutnya). Modal utamanya adalah nilai orisinalitas, yang mana tidak akan sulit bila mengingat kondisi geofisik, lingkungan, dan sosial budaya di Indonesia.

Meningkatkan pembaca dari "English speaking countries"

Salah satu yang menjadi isu besar di Indonesia sebagai non-English speaking country adalah penting atau tidaknya menulis dalam Bahasa Inggris. Kalau menulis dalam Bahasa Inggris masih sulit, dan akhirnya terjebak dalam "jurnal meragukan" agar cepat terbit, kenapa tidak menulis dalam Bahasa Indonesia. Dengan menggunakan Bahasa Ibu, maka riset dapat ditulis dengan sebaik-baiknya, dan dijelaskan dengan sejelas-jelasnya.
Di samping itu,  menulis dalam bahasa ibu dengan baik mengindikasikan (meskipun bukan satu-satunya) cinta tanah air, karena meningkatkan literasi masyarakat kita sendiri. Ada bagian dari masyarakat kita yang belum tentu ataupun belum berkepentingan memiliki daya akses (finansial, kepustakaan, maupun linguistik) terhadap jurnal-jurnal berbahasa asing. Di samping itu tidak dapat dipungkiri bahwa penciptaan pengetahuan banyak berlangsung dalam situasi tertentu. Realitas pengetahuan bersifat kontekstual \cite{JunemanA50:online}\cite{JunemanA50:online}. Contoh sederhana: beras, pari, sego, intip, upo, dalam bahasa Jawa; semuanya disebut "rice" dalam bahasa Inggris \cite{Dardjowidjojo2007}. Kekayaan objektif dan keindahan intersubjektif pengetahuan tidak selalu dapat ditangkap dan diungkap dengan bahasa Inggris.
Lantas bagaimana dengan pembaca dari negara selain Indonesia? Untuk hal ini kami memang baru berhipotesis, karena belum pernah melakukan riset secara langsung. Menurut kami, para pembaca asing pastinya akan mencari sebanyak-banyaknya makalah yang relevan dengan subyek dan terutama dengan lokasi risetnya. Setidaknya kondisi tersebut mengarah ke arah bahwa bahasa bukan kendala utama saat peneliti asing mencari referensi yang terkait dengan risetnya (75% dari 142 responden dari Tweet Poll ini). Jadi bila mereka akan meneliti di suatu lokasi di Indonesia, mereka sadar bahwa besar kemungkinan harus mencari makalah dalam Bahasa Indonesia. Karena itu usulan kami untuk pengelola jurnal berbahasa Indonesia, wajibkan bagi para penulis yang makalahnya telah diterima untuk:
  1. membuat slide dalam Bahasa Inggris untuk menceritakan makalahnya secara singkat. Slide ini terutama berisi gambar-gambar dan tabel.
  2. memuat data mentah sebagai lampiran (supplementary electronic data) atau mendorong mereka untuk mengunggah data di repository terbuka seperti OSF, Figshare, atau Zenodo. Untuk bidang ilmu kebumian dapat memanfaatkan server repositori Pangaea.
  3. menggunakan judul dan abstrak yang memuat identitas lokasi, setidaknya nama kabupaten dan "Indonesia" \cite{WTFBagai42:online}.
  4. membuat abstrak dalam format video, dalam mana penulis menceritakan naskahnya dalam Bahasa Inggris (baca juga laman The Scientiest Videographer). Hal ini sangat sesuai dengan situasi Indonesia yang masih kental dengan budaya lisan (berbicara) dan merupakan pengguna Live Instagram Video dalam jumlah yang cukup besar. Artinya kalau minat membuat video-video media sosial ini tinggi, maka dapat dimanfaatkan untuk membuat abstrak dalam bentuk visual.
Perkembangan baru saat ini adalah beberapa server preprint (mayoritas yang di-hosting oleh OSF) telah menerima makalah preprint dalam bahasa selain Bahasa Inggris. Ini merupakan kemajuan signifikan untuk melintasi batasan bahasa (language boundary) dalam dunia saintifik.

Menghindari kriteria jurnal meragukan 

Dalam pengelolaannya, jurnal-jurnal OA ini walaupun belum dapat menyamai kinerja jurnal-jurnal berusia dewasa (baca: jurnal lama) di luar negeri tapi hal yang perlu dijaga adalah agar tidak menjadi jurnal yang meragukan (questionable journal). Ini sangat penting mengingat sudah muncul persepsi di dunia internasional bahwa banyak jurnal meragukan diterbitkan di benua Asia  \cite{jisc_econ_impact}. Tahapan evaluasi jurnal inilah yang perlu disosialisasikan secara masif, mengingat masih banyak penulis/peneliti yang tidak mengetahui cara membedakan jurnal yang bertatakelola baik dan jurnal yang hanya mementingkan pemasukan dana APC. Tahapan ini sangat penting juga untuk merespon niat baik pemerintah Indonesia dalam meningkatkan jumlah publikasi berlingkup internasional, dengan penerbitan Permenristekdikti No. 20/2017.